Subscribe Us

banner image

Technology

Sports

PUTUSAN NO 141 PERBURUK MARWAH MK, KARENA MASIH JADI KEPANJANGAN TANGAN ISTANA

  


Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 90/PUU-XXI/2023 tertanggal 16 Oktober 2023 tentang “judicial review” (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hakim-hakim MK belum juga “move on”. Mereka masih terbawa suasana traumatik soal “conflict of interest” hakim MK Anwar Usman yang menggiring adik ipar Presiden Joko Widodo itu kehilangan kursi Ketua MK.

Bahkan hakim MK yang progresif sekelas Saldi Isra dan Suhartoyo pun nampak kehilangan taring, karena dalam Pertimbangan Hukum Putusan No 141/PUU-XXI/2023 tidak nampak pandangan yang progresif sebagaimana dapat dibaca dalam putusan Perkara No 90/ PUU-XXI/2023.

Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres mengubah syarat usia minimal calon presiden/calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi kurang dari 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat kepala daerah. Dengan demikian, Gibran yang baru berusia 36 tahun pun bisa menjadi cawapres karena sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah.

Adapun Putusan MK No 141/PUU-XXI/2023 adalah mengenai perkara gugatan ulang terhadap syarat usia capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur. MK menolak gugatan ini.

Nuansa di mana hakim-hakim MK kompak satu suara ingin mengamankan kekuatan final dan mengikat Putusan Perkara No 90/PUU-XXI/2023 sangat kental sehingga beberapa pertimbangan hukum dalam Putusan MK No 141/PUU-XXI/2023 tertanggal 23 November 2023 menyatakan tidak berlaku ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, merupakan dalil yang kontraproduktif yang melampaui batas wewenang hakim.

Bagi hakim MK yang adalah negarawan, pertimbangan hukum yang menegasikan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No 48 Tahun 2009 jelas merupakan upaya pragmatis memenuhi hasrat politik kekuasaan dengan mengesampingkan asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang berlaku bagi semua hakim di Indonesia tanpa kecuali.

Kekebalan semu hakim MK

Di sini hakim MK sudah keluar dari prinsip kebebasan hakim bahkan bertindak sewenang-wenang karena menyatakan ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK, hanya demi mengamankan Putusan No 90/PUU-XXI/2023.

Artinya, hakim MK bisa sewenang-wenang mengeluarkan pertimbangan hukum, sebagaimana dapat dibaca dalam Putusan MK No 141/PUU-XXI/ 2023, yaitu memberikan imunitas semu bagi hakim MK untuk tidak dipidana manakala terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan perkara yang sedang dia adili, termasuk jika berada dalam lingkaran “conflict of interest” (konflik kepentingan).

Hal lain yang aneh adalah pertimbangan hukum Putusan No 141/PUU-XXI/2023 bahwa MK tidak mungkin menerapkan Pasal 17 ayat (7) UU No 48 Tahun 2009 karena ketentuan Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (3) Peraturan MK No 2 Tahun 2021 yang mewajibkan majelis hakim bersidang dengan komposisi 9 atau sekurang-kurangnya 7 hakim MK.

Pandangan bahwa hakim MK bersidang dengan sekurang-kurangnya 7 hakim, sebetulnya MK telah mengantisipasi kemungkinan ada hakim MK yang harus mundur dari perkara yang sedang disidangkan manakala ia berkepentingan atau memiliki “conflict of interest” sehingga cukup dengan mengundurkan diri dari persidangan, maka persidangan bisa dilakukan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 hakim.

Keanehan pertimbangan hukum

Peraturan MK No 2 Tahun 2021 harus dipandang sebagai upaya mengantisipasi kemungkinan hakim MK sewaktu-waktu berada dalam posisi memiliki “conflict of interest” sebagaimana dialami Anwar Usman dalam Perkara No 90/PUU-XXI/2023, maka cukup dengan Anwar Usman mundur dari persidangan sehingga skandal nepotisme itu tidak akan terjadi.

Artinya, jika saja saat itu Anwar Usman mundur dari persidangan Perkara No 90/PUU-XXI/2023, maka MK tidak mungkin menghadapi skandal politik yang mengguncang kancah perpolitikan yang berkepanjangan hingga saat ini, karena hakim MK bisa bersidang dengan 7 atau 8 hakim, agar mereka terbebas dari ancaman Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU No 48 Tahun 2009.

Oleh karena itu, pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48 Tahun 2009, tidak dapat diterapkan pada hakim MK, atas alasan tidak adanya Majelis Hakim Pengganti, sementara ketentuan UU MK sendiri membuka pintu jalan keluar dengan persidangan cukup dengan sekurang-kurangnya 7 hakim, jelas merupakan argumentasi yang bertujuan membodohi publik.

Begitu pula dengan pernyataan hakim MK dalam Putusan No 141/PUU-XXI/2023 bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU No 48 Tahun 2009 tidak berlaku bagi hakim MK, terutama sanksi putusan tidak sah, sanksi administratif dan sanksi pidana, pertanyaannya mengapa Anwar Usman dijatuhi sanksi administratif? Jawabannya karena Anwar Usman melanggar larangan Pasal 17 ayat (5) UU No 48 Tahun 2009 juncto Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Dengan demikian, meniadakan berlakunya ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No 48 Tahum 2009 pada hakim MK, hal itu harus dengan UU, bukan dengan tafsir UU oleh MK. Ketentuan Pasal 73 UU HAM bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam UU hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, karena itu tidak diterapkan ketentuan Pasal 17 ayat (6) UU No 48 Tahun 2009 pada hakim MK tidak boleh berdasarkan tafsir hakim, melainkan hanya boleh dengan UU.

PUTUSAN NO 141 PERBURUK MARWAH MK, KARENA MASIH JADI KEPANJANGAN TANGAN ISTANA PUTUSAN NO 141 PERBURUK MARWAH MK, KARENA MASIH JADI KEPANJANGAN TANGAN ISTANA Reviewed by TELINGA RAKYAT on Desember 10, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Subscribe Us

Diberdayakan oleh Blogger.